MACAM-MACAM RASIO KEUANGAN

Pada dasarnya rasio keuangan itu banyak macamnya dan dapat dibuat sesuai kebutuhan penganalisis. Berdasarkan sumbernya, rasio keuangan digolongkan menjadi tiga, yaitu:
  • Pertama, Rasio-rasio neraca (Balance Sheet Ratio), yakni rasio-rasio yang disusun dari data dalam neraca.
  • Kedua, Rasio-rasio laporan rugi-laba (Income Statement Ratio), yakni rasio-rasio yang disusun dari data dalam laporan rugi laba.
  • Ketiga, Rasio-rasio antar laporan (Intern Statement Ratio), yaitu rasio-rasio yang disusun dari data yang berasal dari neraca dan data lainnya yang berasal dari laporan rugi laba.
1. Earning Ratio
   a) DPS ( Deviden per share)

Dividen merupakan pembagian sisa laba perusahaan yang didistribusikan kepada pemegang saham, atas persetujuan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Berikut adalah rumus DPS :



DPS = Dividends Paid ($) / # Shares Outstanding Common Stock

Contoh: PT Astra Agro Lestari, Tbk (AALI)

Berdasarkan ringkasan kinerja PT Astra Agro Lestari, Tbk (AALI) per 31 Januari 2013, DIVIDEND PER SHARE AALI tahun 2008 – 2012 adalah sebagai berikut:



Keterangan
2008
2009
2010
2011
2012
Dividend (Rp)
505
905
830
995
230



Solusi:

Keterangan
2008
2009
2010
2011
2012
Dividends Paid ($)
795,375
1,425,375
1,307,250
1,567,125
362,250
# Shares Outstanding Common Stock
1,575
1,575
1,575
1,575
1,575
Dividend (Rp)
505
905
830
995
230



*) # shares outstanding common stock = Paid up Capital (Shares) pada kolom BALANCE SHEET dan dividends paid ($) = Dividend (Rp) pada kolom RATIOS dikalikan dengan Paid up Capital (Shares) pada kolom BALANCE SHEET.

  



b)  EPS ( Earning per share) 

EPS adalah bagian dari laba perusahaan yang dialokasikan ke setiap saham yang beredar. Laba per saham atau Earning per Share ini merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan. EPS (Earning per Share atau Lembar per Saham) dihitung dengan membagi laba bersih setelah pajak dan dividen yang dibagikan dengan jumlah saham yang beredar. Earning per Share ini dapat dinyatakan dengan rumus EPS dibawah ini :



Laba per Saham (EPS) =  (Laba Bersih setelah Pajak  – Dividen)  / Jumlah Saham yang Beredar



Jika terjadi perubahan struktur modal (contohnya perubahan jumlah saham) selama perioda pelaporan, maka saham yang beredar harus dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang saham (weighted average share) yang beredar selama tahun berjalan.



Contoh Soal :



PT. AABB mempunyai saham yang beredar sebanyak 1.500.000 lembar dengan perincian sebagai berikut :

01 Januari 2016, Saham yang beredar sebanyak  1.000.000 lembar
01 Juli 2016, penambahan saham baru sebanyak 500.000 lembar

Laba bersih setelah Pajak PT. AABB adalah sebesar Rp. 1 miliar. Dividen saham yang akan diberikan kepada pemegang sahamnya adalah sebesar 10% atau Rp. 100 juta dari laba bersih setelah pajak. Berapakah Earning per Share atau Laba per lembar Sahamnya ?


Diketahui :

Laba bersih setelah Pajak = Rp. 1.000.000.000,-
Dividen yang dibagikan = Rp. 100.000.000,-
Jumlah Saham yang beredar = 1.250.000 lembar, dihitung dengan cara rata-rata tertimbang seperti dibawah ini :

Jumlah Saham
Lama peredaran
(bulan)
Bobot (Weight)
Rata-rata
Tertimbang
1.000.000
6
6/12 = 0,5
500.000
1.500.000
6
6/12 = 0,5
750.000
 Jumlah Rata-rata Tertimbang
1.250.000

 Jawaban :

Laba per Saham (EPS) =  (Laba Bersih setelah Pajak  – Dividen)  / Jumlah Saham yang Beredar
Laba per Saham (EPS) =  (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 100.000.000) / 1.250.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 900.000.000 / 1.250.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 720,-

Jadi Laba per lembar Saham atau Earning per Share (EPS) PT. XXZZ adalah sebesar Rp. 720,-


Penilaian EPS (Earning per Share atau Laba per Saham)


Umumnya, Laba per Saham yang tinggi menandakan profitabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan Laba per Saham yang rendah. Artinya, perusahaan dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi untuk dibagikan ke pemegang sahamnya. Meskipun demikian, investor tidak hanya memperhatikan nilai dari Laba per lembar saham ini saja untuk membuat keputusan membeli atau tidak membeli saham pada perusahaan yang bersangkutan, karena pada dasarnya EPS ini dapat berubah menjadi tinggi apabila jumlah saham yang beredar dikurangi.

c) BVPS (Book value pershare) 
Rasio Book Value per Share ini digunakan untuk mengetahui berapa jumlah uang yang akan diterima oleh pemegang saham apabila suatu perusahaan dibubarkan (dilikuidasi) atau jumlah uang yang dapat diterima oleh pemegang saham apabila semua aktiva (aset) perusahaan dijual sebesar nilai bukunya. 

Rumus Book Value per Share (BVPS)

Book Value per Share atau Nilai Buku per Saham dapat dihitung dengan cara membagikan ekuitas pemegang saham dengan jumlah saham yang beredar. Persamaan atau Rumus Book Value per Share (BVPS) dapat dilihat seperti dibawah ini :

Book Value per Share = Total Ekuitas / Jumlah Saham yang Beredar
atau
Book Value per Share = (Aset – Hutang) / Jumlah Saham yang beredar

Contoh Kasus Perhitungan Book Value per Share (Nilai Buku per Saham)

PT. AAZZ yang bergerak di bidang perakitan Kalkulator memiliki total Aset sebesar Rp. 800 juta dengan kewajiban atau Hutang sebesar Rp. 100 juta. Saham yang beredar PT. AAZZ adalah sebanyak 2 juta lembar. Harga pasar saham per lembar perusahaan saat ini adalah Rp. 600,-. Berapakah Nilai Buku per Saham atau Book Value per Share PT. AAZZ? Apakah saham PT. AAZZ ini mahal (overvalued) atau murah (undervalued) ?

Diketahui :
Total Aset = Rp. 800 juta
Hutang = Rp. 100 juta
Jumlah Saham yang beredar = 2 juta lembar


Jawaban :
BVPS =(Aset – Hutang) / Jumlah Saham yang beredar
BVPS = (800.000.000 – 100.000.000) / 2.000.000
BVPS = 350

Jadi Nilai Buku per Saham atau Book Value per Share (BVPS) PT. AAZZ adalah Rp. 350,-. Saham PT. ZZAA saat ini adalah overvalued atau kemahalan.

Analisis dan Penilaian Book Value per Share (Nilai Buku per Saham)

Nilai Buku per Saham atau Book Value per Share ini sering digunakan untuk membandingkan nilai pasar per saham perusahaan. Jika nilai BVPS perusahaan lebih tinggi dari nilai pasar per sahamnya, maka sahamnya “Undervalued” atau “Murah” yang berarti perdagangan saham lebih rendah dari harga yang ditentukan pasar. Namun apabila nilai BVPS perusahaan lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai pasar per sahamnya, maka saham perusahaan tersebut dapat dikatakan kemahalan atau “Overvalued” atau Harga Saham lebih tinggi dari harga yang ditentukan Pasar.
Dengan demikian, Nilai Buku per Saham atau BVPS ini dapat menentukan apakah saham suatu perusahaan telah “Overvalued” atau masih “Undervalued”. Ini dapat membantu para Investor untuk mengambil keputusan apakah membeli atau tidak membeli saham tertentu.


d) CFPS ( Cash Flow Per Share)
   Merupakan rasio yang menunjukkan jumlah uang tunai yang dihasilkan berdasarkan laba bersih perusahaan dengan biaya depresiasi dan amortisasi ditambahkan kembali. Besarnya CFPS dapat dihitung dengan rumus :


e) Cash Earning Per Share/CEPS (Laba Bersih Per Saham – Uang Tunai)
   Merupakan rasio yang menunjukkan ukuran kinerja keuangan yang membandingkan arus kas dengan jumlah saham yang beredar. Besarnya CEPS dapat dihitung dengan rumus :


   Lalu, Cash Equivalent (Setara Kas) merupakan investasi jangka pendek yang memiliki kualitas kredit tinggi dan sangat likuid. Setara kas merupakan salah 1 dari 3 kelas aset utama, bersama dengan saham dan obligasi.
f) Net Asset Value Per Share/NAVPS (Nilai Aktiva Bersih Per Saham)
   Merupakan rasio yang menunjukkan nilai aset bersih yang mewakili nilai per saham dari reksadana, dana yang diperdagangkan di bursa atau pun dana tertutup. Besarnya NAVPS dapat dihitung dengan rumus :






2) Valuation Ratio 

a) PER (Price to earning ratio)
Price to Earning Ratio atau biasanya disingkat dengan singkatan PER (P/E Ratio) adalah rasio harga pasar per saham terhadap laba bersih per saham. Rasio Price to Earning ini adalah rasio valuasi harga per saham perusahaan saat ini dibandingkan dengan laba bersih per sahamnya. Price to Earning Ratio ini merupakan rasio yang sering digunakan untuk mengevaluasi investasi prospektif. Rasio ini juga digunakan untuk membantu investor dalam pengambilan keputusan apakah akan membeli saham perusahaan tertentu. Umumnya, para trader atau investor akan memperhitungkan PER atau P/E Ratio untuk memperkirakan nilai pasar pada suatu saham.

Rumus PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

Price to Earning Ratio (P/E Ratio) ini dihitung dengan cara membagikan “Nilai Pasar per saham (Market Value per Share)” dengan “Laba per lembar Saham (Earning per Share/EPS)”. Data Nilai pasar per saham dapat diambil dari pasar saham atau bursa efek, sedangkan Earning per Share dapat dihitung dengan cara membagikan Labar Bersih terhadap jumlah saham yang beredar di pasar.

Price to Earnings Ratio (PER) = Harga Saham / Laba per Saham

Catatan :

  • Harga terhadap Pendapatan dalam bahasa Inggris disebut dengan Price to Earnings Ratio (PER).
  • Harga Saham dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Market Price per Share.
  • Laba per Saham dalam bahasa Inggris disebut dengan Earnings per Share (EPS).
Dengan menghitung Rasio P/E atau Price Earning Ratio, kita dapat mengetahui seberapa
 besar harga yang ingin dibayar oleh pasar terhadap pendapatan atau laba suatu perusahaan. Rasio PER-nya yang lebih tinggi menunjukan bahwa pasar bersedia membayar lebih terhadap pendapatan atau laba suatu perusahaan, serta memiliki harapan yang tinggi terhadap masa depan perusahaan tersebut sehingga bersedia untuk menghargainya dengan harga yang lebih tinggi. Di sisi lain, Rasio Harga Terhadap Pendapatan (Price Earning Rasio) yang lebih rendah mengindikasikan bahwa pasar tidak memiliki kepercayaan yang cukup terhadap masa depan saham perusahaan yang bersangkutan. Rata-rata Rasio P/E atau PER suatu saham biasanya adalah 12 hingga 15, namun nilai tersebut tergantung pada pasar dan kondisi ekonomi. Penilaian Rasio PER juga bervariasi tergantung pada industri yang dijalankannya. Setiap Industri memiliki penilaian yang berbeda terhadap rasio Rasio P/E-nya.

Contoh Perhitungan PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

jika harga per lembar saham perusahaan A adalah Rp. 500,- dengan rasio EPS sebesar Rp. 20. Maka Rasio P/E adalah Rp. 500/Rp. 20 = Rp. 25,-. Ini menandakan bahwa Investor bersedia untuk membayar Rp. 25,- untuk setiap Rp. 1 pendapatan perusahaan. Bagi perusahaan yang mengalami kerugian atau pendapatan yang bernilai negatif, rasio P/E biasanya dinyatakan dengan “tidak ada” atau biasanya ditulis dengan “N/A” atau “Not Applicable”.


Penilaian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

Rasio Harga terhadap Pendapatan (Price Earning Ratio) yang tinggi mungkin tidak selalu menjadi indikator Positif karena rasio PER yang tinggi bisa diakibatkan oleh “Overpricing” pada saham tersebut. Pada sisi lain, Price Earning Ratio yang rendah belum tentu merupakan indikator negatif, bisa jadi saham tersebut sedang diabaikan oleh pasar atau belum aktif didagangkan. Oleh karena itu, Price Earning Ratio ini harus digunakan dengan 
hati-hati. Keputusan investasi tidak boleh hanya didasarkan pada rasio P/E ini saja, para investor harus mempertimbangkan rasio-rasio lain untuk mengambil keputusan apakah membeli atau tidak membeli saham-saham tertentu. Masalah yang paling sering dibahas mengenai rasio P/E ini adalah perhitungan penyebutnya yang juga memasukan barang-barang non tunai sehingga angka pendapatannya dapat dimanipulasi dengan mudah, misalnya dengan memasukan depresiasi atau amortisasi. Meskipun tidak dimanipulasi dengan sengaja, angka pendapatan masih juga dapat dipengaruhi oleh item-item non tunai. Oleh sebab itu, kebanyakan investor menggunakan “Price to Cash Flow Ratio” atau “Rasio Harga terhadap aliran Tunai” untuk perhitungan yang menghilangkan item-item non tunai dan hanya memperhatikan Kas atau uang tunainya saja.


b) PBVR ( Price book value ratio)
Price to Book Value atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Rasio Harga terhadap Nilai Buku yang disingkat dengan PBV adalah rasio valuasi investasi yang sering digunakan oleh investor untuk membandingkan nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya.  RAsio PBV ini menunjukan berapa banyak pemegang saham yang membiayai aset bersih perusahaan. Nilai Buku atau Book Value memberikan perkiraan nilai suatu perusahaan apabila diharuskan untuk dilikuidasi. Nilai Buku ini adalah nilai aset perusahaan yang tercantum dalam laporan keuangan atau Balance Sheet dan dihitung dengan cara mengurangkan kewajiban perusahaan dari asetnya (Nilai Buku = Aktiva – Kewajiban). Dengan kata lain, Rasio Price to Book Value ini dapat menunjukan apa yang  akan didapatkan oleh pemegang saham setelah perusahaan terjual dengan semua hutangnya telah dilunasi. Rasio PBV yang rendah merupakan tanda yang baik bagi perusahaan.
Price to Book Value atau Price/Book Value Ratio ini membantu investor untuk membandingkan nilai pasar atau harga saham yang mereka bayar per saham dengan ukuran tradisional nilai suatu perusahaan.

Rumus PBV (Price to Book Value)

PBV atau Price to Book Value (Rasio Harga terhadap nilai Buku) ini dapat dihitung dengan membagikan Harga per lembar Saham perusahaan yang bersangkutan dengan nilai buku per lembar saham (Book Value per Share). Berikut ini adalah Rumus PBV untuk menghitung rasio Harga Saham terhadap Nilai Buku ini.

Rasio Harga terhadap Nilai Buku = Harga per Lembar Saham / Nilai Buku per lembar Saham
 Price to Book Value (PBV) =  Stock Price per Share / Book Vale Per Share

Contoh Perhitungan PBV (Price to Book Value Ratio)

Per tanggal 03 November 2017, Harga per lembar saham Bank Tabungan Negara Tbk dengan kode emiten BBTN adalah sebesar Rp. 2.880,- sedangkan nilai buku per saham atau book value per share adalah sebesar Rp. 1.944,-. Berapakah Rasio PBV atau Rasio Harga terhadap Nilai Buku BBTN ?
Diketahui :
Harga per lembar saham = Rp. 2.880,-
Nilai Buku per lembar saham = Rp. 1.944,-
Rasio Harga terhadap Nilai Buku = ??

Jawaban :
Price to Book Value = Harga per Lembar Saham / Nilai Buku per lembar Saham
Price to Book Value = Rp. 2.880,- / Rp. 1.944,-
Price to Book Value = 1,48 kali

Jadi Price to Book Value atau PBV Bank Tabungan Negara Tbk adalah sebesar 1,48 kali.

Analisis dan Penilaian Price to Book Value (PBV)

Price to Book Value Rasio (PBV) atau Rasio Harga Saham terhadap nilai Buku ini sering digunakan untuk menilai harga suatu saham apakah murah atau mahal yang biasanya disebut dengan Valuasi Saham. Perusahaan dengan PBV dibawah angka “1” biasanya dianggap sebagai saham yang harganya murah sedangkan rasio PBV diatas nilai “1”  
dapat dianggap sebagai saham yang berharga mahal.


c) PCFR ( Price cash flow ratio)
Harga Terhadap Arus Kas adalah rasio valuasi investasi yang digunakan oleh investor untuk mengevaluasi daya tarik investasi terhadap saham suatu perusahaan dengan membandingkan harga saham suatu perusahaan dengan arus kas perusahaan tersebut. Dengan kata lain, Price to Cash Flow Rasio ini menunjukan jumlah uang yang bersedia dibayar oleh Investor untuk arus kas yang dihasilkan oleh perusahaan. Rasio Harga Terhadap Arus Kas ini biasanya digunakan oleh para Investor untuk mendeskripsikan penilaian suatu perusahaan yang berhubungan dengan salah satu pertimbangan paling penting dalam laporan keuangan perusahaan yaitu uang tunai. Dapat dikatakan bahwa Rasio Price to Cash Flow atau Rasio PCFR ini hanya mempertimbangkan arus kas dalam penilaiannya dan menghilangkan faktor-faktor non-tunai dan depresiasi (penyusutan).


Rumus Price to Cash Flow Ratio

Price to Cash Flow Ratio atau Rasio Harga terhadap Arus kas dapat dihitung dengan membagi HARGA SAHAM (Price per Share) dengan ARUS KAS per SAHAM (Cash Flow per Share). Persamaan atau Rumus Price to Cash Flow Ratio dapat ditulis seperti berikut ini

Price to Cash Flow Ratio = Harga Saham / Arus Kas per Saham

Price to Cash Flow Ratio ini juga bisa dihitung dengan menggunakan Kapitalisasi Pasar. Persamaan atau Rumusnya dapat ditulis seperti dibawah ini :

Price to Cash Flow Ratio = Kapitalisasi Pasar / Arus Kas

Arus Kas per Saham = (Pendapatan bersih + Depresiasi + Amortisasi) / Jumlah saham yang beredar


Contoh Perhitungan Price to Cash Flow Ratio (Rasio Harga terhadap Arus Kas)

Per tanggal 05 April 2018, Harga per lembar saham PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk adalah Rp. 3.680,-. Sedangkan Arus Kas per lembar Saham atau Cash Flow per Share perusahaan yang beremiten TLKM ini adalah Rp.490,-. Berapakah Rasio Harga terhadap Arus Kas atau Price to Cash Flow Ratio PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk ?

Diketahui :
Harga Saham = Rp. 3.680,-
Arus Kas per Lembar Saham = Rp. 490,-
Price to Cash Flow Ratio = ?

Penyelesaian :
Price to Cash Flow Ratio = Harga Saham / Arus Kas per Saham
Price to Cash Flow Ratio = Rp. 3.680,- / Rp. 490,-
Price to Cash Flow Ratio = 7.51 kali

Jadi Price to Cash Flow ratio atau Rasio Harga terhadap Arus Kas adalah sebesar 7,51 kali.

Analisis dan Penilaian Price to Cash Ratio (Rasio Harga terhadap Arus Kas)
Price to Cash Ratio (P/CF Ratio) merupakan Rasio yang digunakan untuk membanding nilai pasar perusahaan dengan aliran kas atau arus kasnya. Rasio P/CF yang tinggi mengindikasikan nilai pasar perusahaan atau saham suatu perusahaan diperdagangkan  dengan harga yang relatif tinggi dan kemungkinan tidak menghasilkan arus kas yang cukup. Pada umumnya, Investor akan lebih menyukai Rasio P/CF yang rendah karena Rasio P/CF yang rendah menunjukan perusahaan yang bersangkutan memiliki arus kas yang besar.



3) Profitability Ratio 

a) OPM ( Operating Profit Margin)

OPM adalah rasio yang mengukur tingkat margin laba operasi perusahaan berdasarkan perbandingannya dengan pendapatan atau penjualan bersih yang dihasilkan. 


Rumus Margin Laba Operasi

Sebelum itu, mari kita breakdown dulu susunan laporan laba/rugi dalam laporan keuangan.
Dan berikut susunannya:

  • Penjualan/Pendapatan (Revenues)
  • Laba kotor (Gross profit)
  • EBITDA
  • Laba operasi (Operating profit / EBIT)
  • Laba sebelum Pajak (EBT)
  • Laba bersih
Jadi letak laba usaha atau operasi ini setelah EBITDA. Hanya saja, EBITDA kadang tidak ditampilkan langsung di LK, sehingga umumnya langsung setelah laba kotor.
Sebagian ahli keuangan, termasuk Georgi Tsvetanov, sebelum laba bersih ada retained earnings (RE). Jika ada pengeluaran dividen maka hasil antara laba bersih dan RE tersebut berbeda, tapi bila tidak ada pembagian dividen maka hasilnya sama.
Hanya saja, dalam finansial statement resmi para emiten di BEI, umumnya tidak menampilkan RE tersebut dalam halaman pelaporan laba-bersih, tapi dalam laporan aset yang merupakan nilai akumulasinya.
Sekarang mari kita lihat rumusnya:

OPM = Operating profit / Revenues

Jadi tujuannya menghitung rasio OPM ini adalah untuk mengetahui seberapa besarkan jumlah laba operasi yang dihasilkan dibanding dengan penjualannya.



b) NPM (Net profit margin)
Net Profit Margin (NPM) atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Marjin Laba Bersih adalah rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur persentase laba bersih pada suatu perusahaan terhadap penjualan bersihnya. Marjin Laba Bersih ini menunjukan proporsi penjualan yang tersisa setelah dikurangi semua biaya terkait. Net Profit Margin ini sering disebut juga dengan Profit Margin Ratio (Rasio Marjin Laba). 

Bagi Investor, Marjin Laba Bersih atau Net Profit Margin ini biasanya digunakan untuk mengukur seberapa efisien manajemen mengelola perusahaannya  dan juga memperkirakan profitabilitas masa depan berdasarkan peramalan penjualan yang dibuat oleh manajemennya. Dengan membandingkan laba bersih dengan total penjualan, investor dapat melihat berapa persentase pendapatan yang digunakan untuk membayar biaya operasional dan biaya non-operasional serta berapa persentase tersisa yang  dapat  membayar dividen ke para pemegang saham ataupun berinvestasi kembali ke perusahaannya.

Rumus Net Profit Margin (Marjin Laba Bersih)

Net Profit Margin Ratio ini dapat dihitung dengan cara membagi laba bersih dengan total penjualan. Berikut ini adalah rumus Net Profit Margin :

Marjin Laba Bersih = Laba Bersih setelah Pajak / Pendapatan Penjualan bersih

Contoh Perhitungan Net Profit Margin (Marjin Laba Bersih)

Berdasarkan laporan per tanggal 31 Desember 2016, Pendapatan Penjualan bersih (Net Sales) PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk  adalah sebesar Rp. 27.063.310.000.000,-. Sedangkan Laba Bersih setelah Pajak (Net Profit) perusahaan yang berkode emiten JPFA ini adalah sebesar Rp. 2.064.650.000.000,- . Berapakah Majin Laba Bersih atau Net Profit Margin (NPM) PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk ini?

Diketahui :
Pendapatan Penjualan Bersih (Net Sales) : Rp. 27.063.310.000.000,-.
Laba Bersih setelah Pajak (Net Profit after Tax) : 2.064.650.000.000,-
Marjin Laba Bersih (Net Profit Margin) : ??

Jawaban :
Marjin Laba Bersih = Laba Bersih setelah Pajak / Pendapatan Penjualan bersih
Marjin Laba Bersih = Rp. 2.064.650.000.000,- / Rp. 27.063.310.000.000,-
Marjin Laba Bersih = 7,63%

Jadi Margin Laba Bersih PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk adalah sebesar 7,63%.

Analisis dan Penilaian Net Profit Margin (Marjin Laba Bersih)

Tujuan perhitungan Marjin Laba Bersih adalah untuk mengukur keberhasilan keseluruhan bisnis suatu perusahaan. Marjin Laba Bersih (Net Profit Margin) yang tinggi menunjukan perusahaan menetapkan harga produknya dengan benar dan berhasil mengendalikan biaya dengan baik. Rasio Net Profit Margin ini akan sangat berguna apabila membandingkan profitabilitas pesaing di industri yang sama karena memiliki lingkungan bisnis dan basis pelanggan yang sama serta memiliki struktur biaya yang hampir sama. Umumnya, meski tergantung pada jenis industri dan struktur bisnisnya, Marjin Laba Bersih atau Net Profit Margin (NPM) dengan persentase lebih dari 10% sudah dianggap sangat baik.


c) EBIT ( Earning Before Taxing) 
Earnings Before Interest & Taxes (EBIT) atau Pendapatan Sebelum Bunga & Pajak merupakan indikator profitabilitas perusahaan, dihitung sebagai pendapatan dikurangi biaya, tidak termasuk pajak dan bunga 

Rumusnya sebagai berikut :

EBIT = Pendapatan – Biaya Operasional

EBIT = Laba Bersih + Bunga + Pajak

EBIT juga disebut sebagai Operating Earnings, Operating Profit, dan Profit Before Interest and Taxes (PBIT).

EBIT digunakan untuk mengukur laba yang dihasilkan perusahaan dari operasinya, sehingga identik dengan “laba operasi”.

Dengan mengabaikan biaya pajak dan bunga, EBIT berfokus pada kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dari operasi.


d) ROA ( Return on equity)
Return on Assets atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan Tingkat Pengembalian Aset adalah rasio profitabilitas yang menunjukan persentase keuntungan (laba bersih) yang diperoleh perusahaan sehubungan dengan keseluruhan sumber daya atau rata-rata jumlah aset. Dengan kata lain, Return on Assets atau sering disingkat dengan ROA adalah rasio yang mengukur seberapa efisien suatu perusahaan dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan laba selama suatu periode. ROA dinyatakan dalam persentase (%).


Rumus ROA (Return on Assets)

ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset ini dihitung dengan cara membagi laba bersih perusahaan (biasanya pendapatan tahunan) dengan total asetnya dan ditampilkan dalam bentuk persentase (%). Ada dua cara umum dalam menghitung ROA yaitu dengan menghitung total aset pada tanggal tertentu atau dengan menghitung rata-rata total aset (average total assets). Berikut ini adalah Rumus ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset.


Return on Assets (ROA) = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata Total Aset) 

Contoh Perhitungan ROA (Return on Assets)

Berdasarkan laporan keuangan per tanggal 31/12/2016, Laba bersih atau Net Income PT. Waskita Karya Persero Tbk adalah Rp. 1,713 triliun sedangkan Total Asetnya adalah sebanyak Rp. 61,433 triliun. Berapakah ROA atau Return on Assets (Tingkat pengembalian aset) PT. Waskita Karya Persero Tbk ?

jawaban :
ROA = Laba bersih setelah Pajak / Total Aset (atau rata-rata Total Aset)
ROA = Rp. 1,713 triliun / Rp. 61,433 triliun
ROA = 2,79%

Jadi ROA PT. Waskita Karya Persero Tbk dengan kode emiten WSKT ini adalah sebesar 2,79%.

Analisis dan Penilaian ROA (Return on Assets)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Rasio Return on Assets ini berguna untuk mengukur seberapa efisiensinya suatu perusahaan untuk dapat mengubah uang yang digunakan untuk membeli aset menjadi laba bersih.
Rasio yang lebih tinggi menunjukan bahwa perusahaan tersebut lebih efektif dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan jumlah laba bersih yang lebih besar. ROA akan sangat bermanfaat apabila dibandingkan dengan perusahaan yang bergerak di industri yang sama, karena industri yang berbeda akan menggunakan aset yang berbeda dalam menjalankan operasionalnya. Misalnya, perusahaan pertambangan harus menggunakan peralatan yang besar dan mahal, sementara perusahaan perangkat lunak (software house) hanya mengunakan komputer dan server dalam menjalankan bisnisnya.




4) Liquidity ratio

a) DER (Debit to equity)
Debt to Equity Ratio atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Rasio Hutang terhadap Ekuitas atau Rasio Hutang Modal adalah suatu rasio keuangan yang menunjukan proporsi relatif antara Ekuitas dan Hutang yang digunakan untuk membiayai aset perusahaan. Rasio Debt to Equity ini juga dikenal sebagai Rasio Leverage (rasio pengungkit) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa baik struktur investasi suatu perusahaan.Debt to Equity Ratio atau DER adalah rasio keuangan utama dan digunakan untuk menilai posisi keuangan suatu perusahaan. Rasio ini juga merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajibannya.  Rasio Debt to Equity ini merupakan rasio penting untuk diperhatikan pada saat memeriksa kesehatan keuangan perusahaan. Jika rasionya meningkat, ini artinya perusahaan dibiayai oleh kreditor (pemberi hutang) dan bukan dari sumber keuangannya sendiri yang mungkin merupakan trend yang cukup berbahaya. Pemberi pinjaman dan Investor biasanya memilih Debt to Equity Ratio yang rendah karena kepentingan mereka lebih terlindungi jika terjadi penurunan bisnis pada perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki Debt to Equity Ratio atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang tinggi mungkin tidak dapat menarik tambahan modal dengan pinjaman dari pihak lain.

Rumus Debt to Equity Ratio (DER)

Rasio Hutang Terhadap Ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) dihitung dengan cara mengambil total kewajiban hutang (Liabilities) dan membaginya dengan Ekuitas (Equity). Berikut dibawah ini adalah Rumus Debt to Equity Ratio (DER).
Debt to Equity Ratio (DER) = Total Hutang / Ekuitas

Catatan :

  • Hutang atau Kewajiban (Liabilities) adalah kewajiban yang harus dibayarkan secara tunai ke pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan jangka waktu pelunasannya, Kewajiban atau hutang ini biasanya diklasifikasikan menjadi Kewajiban lancar, kewajiban jangka panjang dan kewajiban lain-lain.
  • Ekuitas (Equity) adalah hak pemilik atas aset atau aktiva perusahaan yang merupakan kekayaan bersih (jumlah aktiva dikurangi dengan kewajiban). Ekuitas dapat terdiri dari setoran pemilik perusahaan dan sisa laba yang ditahan (retained earning).

Contoh Kasus Perhitungan Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)

Berdasarkan Laporan keuangan kuartal II per tanggal 30 Juni 2017, PT. Sri Rejeki Isman Tbk yang berkode emiten SRIL ini memiliki Kewajiban atau Liability sebanyak US$700,68 juta dan Ekuitas (Equity) sebanyak US$359,51 juta. Berapakah Debt to Equity Ratio atau DER PT. Sri Rejeki Isman Tbk ini ?
Diketahui :
Total Kewajiban (liability) = US$700,68 juta
Total Ekuitas (Equity) = US$359,51 juta
Debt to Equity Ratio (DER) = ?

Jawaban :
Debt to Equity Ratio (DER) = Total Kewajiban / Total Ekuitas
Debt to Equity Ratio (DER) = US$700,68 juta / US$359,51 juta
Debt to Equity Ratio (DER) = 1,94 kali

Jadi Rasio Hutang terhadap Ekuitas atau Debt to Equity Ratio PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk per laporan keuangan kuartal II tanggal 30 Juni 2017 adalah sebesar 1,18 kali.

Penilaian Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang Terhadap Ekuitas)

Pada umumnya, Debt to Equity Ratio atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang optimal pada suatu perusahaan adalah sekitar 1 kali, dimana Jumlah Hutang adalah sama dengan 
Jumlah Ekuitas. Namun rasio ini berbeda antara satu jenis industri dengan jenis industri lainnya karena tergantung pada proporsi aktiva lancar dan aktiva tidak lancar. Semakin banyak aktiva atau aset tidak lancar (seperti pada industri padat modal), semakin banyak ekuitas yang dibutuhkan untuk membiayai investasi jangka panjang.
Banyak kebanyakan perusahaan, Rasio Hutang terhadap Ekuitas (Debt to Equity Ratio) yang dapat diterima adalah berkisar diantara 1,5 kali hingga 2 kali. Bagi perusahaan besar yang sudah go publik (perusahaan terbuka), Debt to Equity Ratio bisa mencapai 2 kali atau lebih dan masih dianggap “bisa diterima”.  Namun bagi perusahan kecil menengah, angka tersebut tidak dapat diterima.
Secara umum, Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang tinggi menunjukan bahwa perusahaan mungkin tidak dapat menghasilkan uang yang cukup untuk memenuhi kewajiban hutangnya. Akan tetapi, Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang rendah juga dapat menandakan bahwa perusahaan tidak memanfaatkan peningkatan profit/labanya secara maksimal.
Debt to Equity Ratio (DER) atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas merupakan salah satu analisis fundamental saham.

 

 

Referensi :



Intanseptianavp.blogspot.com/2018/12/rasio-keuangan-manfaat-dan-jenisnya.html?  

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mata Pencaharian di Surabaya

Joint Venture dan Waralaba (Franchise)